Dr.iur.Liona Nanang Supriatna, SH.,M.Hum. : Peran Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Pemberdayaan Ekonomi Artis dan Musisi
Java Bali Stoner Partnership rutin mengadakan pertemuan atau ngopi bareng, dan tidak hanya musik yang di bahas di dalam pertemuan, namun, pengetahuan dan sosial juga di kedepankan.
Meskipun hujan lebat, tidak menyurutkan semangat pencinta The Rolling Stones untuk bertemu.
Suasana ngopi bareng mitra Java Bali Stoner Partnership sangat penuh kekeluargan dan bergembira sambil menyanyikan lagu - lagu hit The Rolling Stones.
Pertemuan atau ngopi bareng mitra Java Bali Stoner Partnership kali ini di adakan Talkshow dengan tema hak ekonomi untuk sebuah karya cipta dengan nara sumber Dr.iur.Liona Nanang Supriatna, SH.,M.Hum. di Kedai Mas Entoh Jln Brigjen Katamso No.41 Bangdung Selasa (5/12/2023).
Bagi para musisi atau seniman yang memiliki maupun menciptakan lagu, sudah selayaknya karyanya di lindungi dengan hak cipta, hal tersebut di sampaikan Liona.
"Nah, kepastian hukum inilah yang harus di pertegas, agar setiap musisi dan pencipta lagu tidak merasa ketakutan ketika ada orang yang menjiplak karyanya, karena setiap karya itu mahal harganya," terangnya.
Setelah selesai memberikan pemaparan tentang hak cipta dan kepastian hukum bagi pencipta lagu, Dr.iur.Liona Nanang Supriatna, SH.,M.Hum. yang juga Caleg DPR RI dari Partai Gerindra daerah pemilihan Jabar 1 Kota Bandung - Kota Cimahi menyerahkan biasiswa pendidikan kepada Saki dan Armanda.***
Dan inilah Materi Yang di sampaikan Dr.iur.Liona Nanang Supriatna, SH.,M.Hum.
Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC)
Pasal 10 UUHC
“Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang basil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya.”
Problem : Pada praktiknya, banyak sekali musik-musik saat ini yang digandakan dan dijual tanpa izin (ilegal) pada media digital baik melalui website maupun platform. Pada praktiknya para musisi tidak dapat mengambil langkah hukum yang jelas karena yurisdiksi digital berbeda dengan konvensional.
Saran : perlu adanya aturan yang lebih sui generis, bisa melalui peraturan mentri atau bahkan judicial review terkait pasal 10 UUHC 2014 tersebut dengan muatan pasal seperti : “Pengelola tempat perdagangan dan/atau medium digital berbentuk platform maupun website dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang basil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya”
Pasal 114
“Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Problem : mengacu pada pasal 10, pasal ini sudah tidak dapat digunakan, karena ketika laporan dibuat ke POLRI, POLRI mengatakan tidak ada alas hukum yang pas untuk menindak.
Saran : ditambahkan isi dari pasal 114 selain tempat perdagangan dan/atau medium digital berbentuk platform maupun website. Kemudian ditambahkan kurungan dan denda yang lebih tinggi agar tidak marak terjadi pengandaan dan penjualan tanpa izin dari pencipta, khususnya musik.
Pasal 9
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
a. penerbitan Ciptaan;
b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan Ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan Ciptaan;
g. Pengumuman Ciptaan;
h. Komunikasi Ciptaan; dan
i. penyewaan Ciptaan.
Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/ata u Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Problem : Pasal ini akan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (5) dan pasal 87 ayat (4), dalam pasal ini ayat (2) hal ini kalau ada orang (performer/artis/cover lagu) yang ingin menyanyikan sebuah lagu, wajib izin kepada pencipta. Ini berkaitan dengan hak moral. Namun dalam ayat (3) dibunyikan secara tegas, kalau menggunakan Ciptaan tanpa izin Pencipta untuk penggunaan secara komersial hukumnya Dilarang.
Saran : Pasal ini sudah bagus, karena menegaskan bahwa ada hak moral yang wajib dilaksanakan. Namun perlu redaksi yang lebih detail karena beririsan dengan pasal 23 ayat (5) dan 87 ayat (4)
Pasal 23 ayat (5)
(5) Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
Problem : pasal ini bertolak belakang dengan Pasal 9 ayat (2) dan (3). Karena Apabila pasal ini diaplikasikan, akan ada tabrakan. Sebagai contoh kasus Once dan Ahmad Dani. Ketika Once sebagai penyanyi/performer menyanyikan lagu-lagu Dewa tanpa izin, namun sudah membayar ROYALTI melalui Lembaga Manajemen Kolektif. Once dianggap sudah mengikuti aturan main UUHC 2014.
Padahal di pasal 9 ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa setiap orang WAJIB izin kepada pencipta apabila ingin menggunakan Ciptaan, sampai yang dikomersialkan.
Pasal ini sebenarnya dibuat karena tujuan dari HKI adalah untuk menghasilkan “nilai” lebih (dalam hal ini uang) dari satu ciptaan karena ekslusifitasnya. Namun (atas dasar hak moral) ternyata kedudukan kepemilikan “benda” dalam hal ini lagu. Lebih tinggi nilainya daripada sebuah uang, untuk dapat memberi izin atau melarang orang menggunakan “benda” nya.
Saran : Pasal ini perlu dikaji lebih dalam dari redaksional, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan Pasal 9 ayat (2) dan (3), Karena redaksi yang bertentangan menjadikan bias nya kepastian hukum.
Pasal 87
Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan.
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.
Problem:
1. Pada ayat (1) mengatakan bagi pencipta dan pemegang hak cipta, harus menjadi anggota LMK dahulu baru dapat menarik imbalan dalam hal ini royalti dari pengguna yang menggunakan ciptaannya. Jadi kalau tidak menjadi LMK, pencipta secara tidak langsung tidak dapat menarik royalti dari ciptaannya. Andai ciptaannya adalah musik, musisinya tidak dapat menarik royalti kecuali sudah menjadi anggota LMK. LMK lah yang dapat menarik royalti tersebut.
2. LMK sendiri dalam praktiknya dinilai tidak transparan dalam membuat laporan keuangan, karena banyak musisi yang komplain hanya mendapatkan sedikit sekali dari royalti yang dihimpun oleh LMK.
3. LMK di Indonesia lebih dari 1 untuk menaungi ciptaan lagu dan musik. Namun dalam praktiknya masih ada gesekan antara LMK, karena user (dalam hal ini pengguna seperti café, diskotik, tempat karoke), membayar royalti kepada LMK yang menagih duluan.
4. Pada ayat (4) seperti halnya pasal 23 ayat (5) menjadi hapusnya kepastian hukum dari pasal 9 ayat (2) dan (3) karena ada pasal yang mengatakan TIDAK DIANGGAP sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila pengguna sudah membayar royalti ke LMK.
Saran : Perlu kajian lebih dalam terkait pasal ini, karena esensi daripada Hak Cipta menjadi bias. LMK harus diatur secara detail mulai dari tanggung jawabnya, sampai batasan mana dia dapat menarik royalti dari (klasifikasi user/pengguna, apakah minimal café atau minimal tempat karaoke). Pemerintah harus turun tangan agar tidak terjadi dualisme keanggotaan dari pencipta pada LMK yang ada di Indonesia.
Pasal 16 ayat (3)
(3) Hak Cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
Problem : dalam praktiknya dari tahun 2014 belum ada Lembaga Jaminan Perbankan maupun Non Perbankan yang dapat mengaplikasikan Pasal ini terkait Hak Cipta dapat dijadikan Jaminan.
Saran : Perlu di implementasikan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2022 tentang pelaksaan Ekonomi Kreatif, Agar pasal 16 ayat (3) dapat diaplikasikan oleh Pencipta.
Pasal 18C
iptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.
Problem : Apabila ada seorang penyanyi menciptakan lagu, dan lagunya dijual ke orang lain, misalnya ke LABEL. Karena pasal 18 UUHC 2014 ini, di tahun ke 26, Lagu Ciptaan tersebut wajib kembali lagi ke tangan pencipta. Karena pelindungan Lagu itu seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun. Inilah yang membedakan konsep Hak Kekayaan Intelektual dan konsep Hukum Benda pada umumnya.
Saran : Perlu ada sosialiasai pasal ini pengawas untuk berjalannya pasal ini sesuai kebutuhan Pencipta.
Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 2021 ttg Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu / Musik
Pasal 2
1) Penggunaan layanan publik yang bersifat komersial untuk Pencipta atau Pemegang Hak Cipta meliputi:
a. pertunjukan Ciptaan;
b. pengumuman Ciptaan; dan
c. komunikasi Ciptaan.
2) Penggunaan layanan publik yang bersifat komersial untuk pelaku pertunjukan meliputi penyiaran dan/atau komunikasi atas pertunjukan pelaku pertunjukan.
3) Penggunaan layanan publik yang bersifat komersial untuk produser fonogram meliputi penyediaan atas fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik.
4) Layanan publik yang bersifat komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) termasuk dalam bentuk analog dan digital.
Problem : Sebanarnya PP ini dibuat dengan tujuan LMK dapat menarik royalti dari User/Pengguna dalam medium internet, seperti platform maupun website. Namun dalam pasal di atas, tidak disebutkan jenis layanan publik tanpa kabel yang seperti apa yang dimaksud. Hanya bertuliskan Digital. Jadi pada praktiknya para pemilik platform (user) sampai saat ini masih tidak dapat diatarik royalti dengan dalih belum ada alas hukum LMK untuk menarik royalti tersebut.
Saran : Perlu ada aturan khusus terkait layanan publik tanpa kabel atau digital yang lebih detail, seperti pasal 3 ayat (2) PP 56 ini. Jenis apa saja/Klasifikasikan layanan publik dalam bentuk digital atau tanpa kabel.***
Posting Komentar